Sebelum pulang kerja, ada teman kantor yang mengajak makan malam bersama-sama dengan orang dari divisi IT. Pada awal rencana, waktu makan malam adalah 7.30pm tadi karena menunggu teman yang belum datang dan ada juga teman yang masih telpon dengan boss-nya akhirnya mundur sampai jam 8.30. Terus pada walanya sudah malas sekali untuk ikut, ingin segera pulang karena ngak enak perasaannya (dari tadi pagi Istri saya kok marah-marah terus). Selain itu dari pagi mata di sebelah kanan berkedu terus dan agak perih.
Karena alasan solidaritas, akhirnya iut juga makan malam. Sebelum berangkat makan malam notebook dan tas sudah disiapkan karena rencanya sehabis makan malam ingin langsung pulang. Selama makan malam tidak ada hal yang luar biasa, ngobrol seperti biasa.
Selesai makan malam langsung pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Selama di perjalanan ada satu hal yang sangat menganggu pikirian saya. Sebelumnya saya mencoba untuk melamar kembali di perusahaan lama dan akhirnya diterima, tapi ada sayu hal yang sangay menganggu yaitu perusahaan saya lama ingin saya bergabung pada petengahan December, sedangkan di perusahaan saya sekarang saya harus one month notice, artinya saya bisa bergabung akhir December. Perusahaan saya yang lama tetap bersikeras untuk joint pertenaghan December, intinya ya apa tidak.
Beberapa hari terakhir ini, hl itu sangat menganggu saya. Hari ini saya ingin sampai rumah berdiskusi dengan istri mengenai hal ini. Apakah diterima apa tidak. Saya ingin mendaatkan pertimbangan dari istri karena ini berkaitan dengan masa depan saya, dia, dan anak saya.
Sampai di rumah istri sedang setrika, saya tanya si Kakak dimana kok ngak ada suaranya, dia biang kakak tidur. Saya bilang ayah ingin diskusi apakah dia lelah apakah ngak kalau diajak diskusi. Saya mulai cerita menegani permasalah apa yang saya alami saat ini. Sambil setrika dia bilang terserah.
Inilah kata-kata yang paling tidak saya sukai ‘terserah’, saya bilang apakah dia lelah, kalau lelah diskuinya nanti saja, tidak ada jawaban apapun. Akhirnya dia ke kamar karena anak saya bangun. Saya tunggu setengah jam, tidak keluar dari kamar juga, ternyata dia tidur. Saya merasa kecewa, ketika saya membutuhkan teman diskusi dan menurut ternyata dia tidur dengan tidak ada kata satupun keculai “terserah”. Apakah kalau saya marah itu pantas jika mendapatkan perlakuan seperti itu? Apakah semua perempuan terutama istri seperti itu?
Saya mencoba untuk sabar, saya merasa permasalahan ini bukan cuma untuk saya, tetapi untuk saya, dia, dan anak kita dan karena sudah berkeluarga maka selayaknya harus didiskusikan bersama. Ternyata saya tidak cukup sabar, saya marah dan saya bangunkan istri saya, saya hanya bilang jangan salahkan laki-laki kalau mereka lebih terbuka kepada orang lain dibandingan dengan istri sendiri, jangan salahkan laki-laki kalau suatu saat mereka menyeleweng. Saya bilang itu karena keluarga saya mengalami hal itu, dahulu mungkin bapak saya juga mengalami hal yang sama yang saya alami saat ini.
Saya mencoba untuk melupakan hal itu denga menyalakan komputer dan mencoba untuk bekerja, tapi istri saya marah dan tidak berhenti.
Seperti api yang disiram minyak, akhirnya saya terpancing juga.
JJIN&^$*U)NHK)%&%&%)!”{+)+UM
selesai dengan tangisan.
Masih pusing dan jengkel….pusing……….Jengkel
Read Full Post »